Senin, 03 Oktober 2011

Part # 1


Aku segera sadar… ini bukan sebuah rumah. Tapi kutukan..
Aku berlari dan terus berlari jatuh bangun menyusuri semak belukar. Panas menyengat sangat amat. Tapi ini satu-satunya kesempatan yang aku punya. Kalaupun harus binasa, aku tak mau di tempat itu… busuk! Entah berapa jam aku berlari… terseok-seok, semakin lemah… tenggorokanku kering kerontang. Aku penat.. kuistirahatkan kakiku. Membungkuk diantara alang-alang setinggi leherku. Kulihat ceruk tanah berisi sisa air hujan.. bagiku itu pertolongan Tuhan. Kuminum air yang  bahkan tak layak untuk cuci kaki itu. Aku mendengar riuh orang dari kejauhan, sepertinya aku sudah dekat dengan sebuah kota..
“dimana aku?” kepalaku seperti dihantam balok kayu kala kucoba melihat cahaya yang menyeruak masuk kemataku. “tidak..ucapku lirih..” segala pikiran buruk berdesakan memasuki otakku. Aku ketakutan. Bergegas sekuat tenaga aku mencoba berlari. Tapi kakiku seakan tak punya tenaga.. sepasang tangan menahanku.. kucoba menepis tangan itu. Tapi selanjutnya yang aku lihat hanya gelap.. aku roboh.
 Dua hari kemudian…
Kudengar sayup-sayup suara syahdu.. tak merdu memang..tapi menentramkan hati. Aku tetap terpejam.., takut jika mataku terbuka suara itu akan hilang. Sudah lama aku tak setenang ini. Lalu perlahan hening.. “Sudah bangun rupanya kau nak, makanlah ini..sudah dua hari kau tak makan apa-apa” suara ramah itu bicara. Aku hanya memandangnya, mau makan tapi seumur-umur tidak ada yang memperlakukan aku semanusia ini. Tapi kalau aku tak makan, perutku sudah berdemo mengalahkan demo yang disiarkan di radio-radio. Aku tak peduli..bagaimanapun demo sekarang lebih didengar. Dan itu juga yang aku lakukan, aku makan saja semua yang ada didepan mata. Tak pernah aku memakan makanan seenak ini..inilah makanan surga. Tuhan sekali lagi menolongku.. suara itu benar… suara yang entah kapan dan siapa yang bicara. Suara yang mengatakan Tuhan itu ada.
Sudah satu bulan aku disini…
Dirumah  ini, milik seorang wanita tua tanpa keluarga. Maka secepat yang dia bisa dia menyebutku sebagai keluarga. Aku dengar itu, saat dia menjawab kalau tetangga atau temannya berjualan di pasar bertanya. Aku sendiri..masih belum bicara. Aku diajari tidak bicara selama ini. Aku hanya diajari untuk melakukan apa yang diperintahkan padaku. Maka aku segera takjub dan semangat saat si mbok meminta bantuanku. “Tolong…” begitu dia selalu jika ingin aku melakukan sesuatu. Wajahnya juga aneh..,sangat aneh..dia…tersenyum. Aku untuk pertama kalinya semakin yakin..bahwa aku ini manusia. Ya! Seorang anak manusia! Bukannya anak setan seperti bajingan itu katakan.
Bulan pun berganti-ganti… hingga tiba musim baru. Hujan…
Malam-malam di musim hujan sepi..orang-orang lebih memilih berdiam diri di dalam rumahnya. Menikmati secangkir kopi panas mendidih sambil ditemani gorengan. Makanya, gorengan bikinan si mbok laris di sore hari… aku punya kebiasaan baru, duduk didepan pintu kamar si mbok.. berlama-lama mendengarkan si mbok yang melantunkan syair-syair itu. “mengaji” begitu si  mbok pernah mengatakan padaku. Bagi semua orang di sini, sepertinya syair-syair itu terdengar biasa. Mereka bahkan menganggap aku tak waras atau stress saat berjam-jam aku duduk di depan surau untuk mendengarkan orang-orang melantunkan syair-syair dari bahasa yang tidak pernah kudengar itu. 
“Apa nak nyo?” Tanya si mbok suatu sore  padaku. Aku menunjuk buku yang dipegangnya. “Apa nak nyo?” tanyanya lagi. Aku tak sabarr… ku tunjuk lagi buku itu, si mbok sepertinya pura-pura sibuk merapikan pakaian putih yang dia kenakan setiap kali dia membacanya. “ Aku tak mengerti maksudmu nak nyo.., apa?”, aku mulai kehilangan kesabaran. Kurebut buku itu dari tangannya.. “ini..aku..mmm..mmm..” si mbok mengambil lagi buku itu dariku. Dieluskannya tangannya pada kepalaku, “besok aku ajarkan kau membaca ini..nak nyo” dan aku tersenyum.. si mbok memandang mataku. Kulihat disudut matanya ada setitik air embun.. “akhirnya kau bicara nak nyo..” lalu bergegas dia masuk ke kamar. Lalu selanjutnya dia bersujud.. lama..
(to be continue………..)