Selasa, 31 Maret 2009

Titik Waktu

Titik waktu...
Tenggelamkan jiwa nan lugu
Beriring tangis haru
Hanyutkan nada sendu
Titik waktu...
Rindukan hati yang tegar
Sembunyikan warna pudar
Hadirkan seberkas pijar
Titik Waktu...
Terus berjalan lugu
Tak mau menungguku

Kamis, 12 Maret 2009

SANDAL JEPIT

Aku menenteng sandal jepit kesayanganku. Memegangnya erat-erat di tangan seolah itu adalah harta yang paling berharga. Aku jatuh cinta pada benda itu sejak aku mengenalnya. Sejak saat itu pula aku jadi punya reaksi aneh kalau kakiku kotor. Mukaku jadi berjengit-jengit risih. Aku bahkan pernah mempraktekkan reaksi itu di cermin sambil membayangkan kakiku belepotan lumpur, dan dia tahu itu. “Naiklah ke punggungku!” katanya membaca reaksiku. Aku masih diam memandangi jalan di depan kami yang becek berlumpur sambil mengeluarkan “reaksi itu”. “Ayo, naiklah! Ibu akan memarahiku kalau kau terpeleset.” Kupandangi wajahnya yang kini menatapku. Kulihat matanya dari mataku yang kecil bundar. “Apa dia kuat menggendongku?”pikirku dalam hati. Kulihat tubuh kurusnya lalu kualihkan pandangan ke telapak tanganku yang gembul. “Nanti jatuh” kataku datar, menghindari tatapan matanya karena takut dia tersinggung. Kulemparkan pandanganku ke semak-semak di pinggir jalan yang becek dihadapan kami. Alih-alih mencari ide lain berharap semak itu kering. Tapi aku kecewa, semak itu juga terendam air. Aku putus asa, kuturunkan lagi sandal jepit berslop merah. Belum sempat aku memakainya dikakiku, tangan kurusnya menyambar sandal itu dan berjongkok didepanku. “Ayo, aku kuat.” Katanya membaca pikiranku. Aku tak segera naik ke punggungnya, dan dia memalingkan kepala dan setengah badannya, menoleh kearahku dengan masih berjongkok. Aku melihat tatapan matanya, bersinar dan ada perasaan sayang yang membuatku merasa aman. Iya, aku menangkap perasaan itu, dan tiba-tiba aku merasa sangat percaya padanya. Kuberikan senyum kecilku hanya untuknya sambil menontonkan gigi depanku yang keropos kebanyakan makan coklat, dan dia membalasnya sekilas. Aku naik ke punggunganya, kurasakan tulang-tulang kecilnya yang kuat dan aku tambah percaya padanya. “ Hiss-jak!1 jalan! Hiss-jak!” aku berteriak riang. Lalu kami tertawa, semakin keras, tambah keras. Ketakutanku lenyap sudah, dan kami terus tertawa, keras dan semakin keras. “Hiss-jak! Hiss-jak!” dia tertawa sambil menambah kencang larinya. Tiba-tiba bumi berputar , langit gelap, matahari seakan ditelan langit hitam. Tepat saat kami akan jatuh terjerembab, tiba-tiba aku tersadar dan sudah berada di tempat lain. Sepintas masih kurasakan sisa senyum di bibirku. Tapi detik kemudian langsung menghilang ditelan kegetiran yang menusuk dalam relung hatiku. Kupandangi ruangan itu, warna biru mendominasi, di salah satu sisi dindingnya tertempel poster band yang semua personilnya cowok memakai pakaian serba hitam. Aku semakin getir, “aku ada dikamar” hataku hanya dalam hati pelan sekali.

***** v(^_^)v *****

Kuperiksa lagi semua perlengkapan, baju ganti, alat mandi, dan buku untuk mengusir bosan dan sepi. Aku memandang meja riasku, memikirkan apa yang mungkin bisa kubawa. Ahh...untuk yang satu ini aku tidak perlu berpikir keras, kusambar tiga tiga benda di atas meja riasku, sisir, bedak dan cologne roll on. Syarat “dandan” untukku, dan memang hanya itu yang ada di meja itu. Kumasukkan semua ke dalam ransel, kutambahkan pula jaket kedalamnya.aku tersenyum puas melihat tasku sedikit menggelembung karena jaket itu. “Ini baru Travelling” kataku dalam hati sambil mengulum senyum sendiri. Kupandangi diriku di kaca, memastikan tidak ada yang salah dan kurang.

Aku berpamitan pada pada Ayah dan Bundaku. Kucium tangan keduanya sambil mendengarkan nasehat mereka sambil lalu. Kuamati lagi seisi kamarku, memastikan tak ada yang ketinggalan. Ahh...”hand phone!” pekikku sambil menepuk jidat. Kuraih benda itu beserta charger-nya dari meja yang menghadap jendela kaca. Dan saat itu kulihat laki-laki kurus itu, duduk di kursi yang berada di teras depan rumahku. Diam seakan tak peduli sekelilingnya. Tubuhnya kini bertambah tinggi dan tulangnya terlihat semakin kuat meski masih saja kurus. Rambut yang dulu selalu rapi kini dibiarkannya gondrong tak terurus. Matanya hening menatap langit dan terasa kosong. Tenggelam dalam dunianya sendiri, hanya sendiri. “Hhh... “ kuhela nafas dalam, aku merasa ditinggalkan di pinggiran jalan yang becek dan penuh lumpur hanya bersenjata sandal jepit. Dan dia tak lagi mengajakku dalam rencana-rencana jeniusnya untuk menghindari jadwal tidur siang yang ditetapkan Bundaku. Atau rencana-rencana konyol untuk belajar menjadi pengembara suatu hari nanti.

Kupakai benda kesayanganku di sebelah pintu, “sandal jepit” kali ini berslop biru. Tak mungkin kutinggalkan benda ini apalagi untuk moment sepenting ini. Acara study tour adalah acara yang amat penting untuk anak SMA seperti aku. Apalagi kali ini aku akan ke Bali, kota yang akan menjadi tempat terjauh dari rumahku yang pernah kuinjak pake sandal jepitku. Aku merasa sudah menjadi pengembara. Ayah dan bundaku mengantarku sampai ke teras depan, keduanya memandang penuh makna pada laki-laki kurus itu, begitu juga aku. “Aku pergi” kataku pada laki-laki itu. Terusik dengan suaraku, dia tergagap dan memandangku seakan mengingat-ingat siapa yang ada di depannya kini. Beberapa detik kemudian tersadar dan kepalanya mengangguk sambil bergumam “hmm..”. Aku sudah bersiap pergi saat kudengar dia memekik dengan tangannya menunjuk kakiku “Sandal jepit!!” katanya tertawa dan mengalihkan pandangan pada orang tuaku. Kulihat Ayahku tersenyum, Bundaku ikut tertawa dan aku tersenyum sangat bahagia. Aku seperti melihat binar pelangi di malam hari dari mata lelaki kurus itu dan sandal jepitku laksana bintang yang menghiasinya. “Jika kita nanti tersesat, kita lihat bintang-bintang saja. Pasti kita bisa pulang” katanya kala itu saat kami berkemah di belakang rumah merencanakan menjadi pengembara. Dan sekarang aku tau maksudnya.