Selasa, 24 November 2009

“Kuambil 7 Kesedihanmu dengan 7 Nada”


Waktu sudah menjelang petang saat aku meninggalkan kantorku sore itu. Hanya tinggal beberapa orang yang masih menyelesaikan sisa kerjanya. Aku sendiri sengaja pulang telat, menunggu waktu maghrib agar sekalian aku tunaikan kewajibanku sebelum aku kehilangan waktuku di jalan. Kulangkahkan kakiku gontai di pinggiran kota yang terlihat usang. Beberapa orang yang mengenalku bertegur sapa kepadaku dan kubalas seramah mungkin. Aku harap senyumku masih terasa tulus pada hati mereka. Sesaat langkahku berhenti saat sampai di persimpangan jalan. Kuamati wajah-wajah muda yang mengatasnamakan “ekspresi jiwa” sedang berlalu lalang dan bergerombol di salah satu sudut jalan. Pakaian serba hitam, anting yang berderet, dandanan yang khas dan penuh pernak-pernikdan sedikit terlihat gothic. Aku tersenyum kecil, karena terlintas sebentar dalam pikiran konyol agar bisa mengambil beberapa foto bersama mereka. Ahh..,tapi nanti malah disangka aku menyinggung mereka. Lalu pandanganku beralih ke rambu jalan, maksud hati ingin memperhatikan lampu traffic untuk menyeberang. Akan tetapi pandanganku teralih oleh penunjuk arah kemana kota yang akan dituju di masing-masing arah jalan dipersimpangan itu. Ada tiga nama kota.., kali ini aku terpana. Ketiga nama kota yang entah kenapa masuk meresap pada pikiranku. Kuhela nafas dalam, lalu menhampiri halte bus.

Jam pulang kantor memang sudah lewat, jadi aku dapat bus yang aku dapat agak lengang. Akupun leluasa memilih tempat duduk. Dan kujatuhkan pilihan pada dua bangku kosong sebelah kiri di bagian belakang. Kuhempaskan tubuhku, dan kupandangi lampu-lampu disepanjang jalan lewat kaca. 15 menit kemudian bus mulai memasuki jalan yang mendaki karena hendak melewati sebuah jembatan yang cukup tinggi. Pemandangan berganti layak sebuah lukisan. Laksana bintang yang ditaburkan pada hamparan dedaunan di hutan. “Subhanallah..”, takjub selalu aku setiap kali melihat pemandangan ini.

Hari sudah gelap saat bus berhenti di sebuah pasar yang cukup ramai untuk menurunkan dan menaikkan penumpang. Sekelompok pengamen jalanan yang aku dan mungkin mereka sendiri lebih suka menyebut diri mereka “seniman jalanan” ikut naik bersama beberapa penumpang baru. Sering aku berpapasan dengan mereka saat berangkat atau pulang kerja. Dan dari pengamatan pula aku bilang mereka seniman jalanan. Bukan pengemis yang bernyanyi sumbang tanpa memperhatikan seni. Mungkin mereka sebenarnya tak peduli mereka dibayar atau tidak asalkan suara mereka didengar. Sebuah ketipung, dua buah gitar, sebuah biola, serta suara merdu tinggi agak serak semacam suara Ipang. Perpaduan yang klasik menurutku.., sangat akustik. Ada yang memandang sinis, ada yang buru-buru menyiapkan uang receh, ada yang tak sabar menantikan mereka beraksi..lalu aku sendiri..masih terbawa dengan ketiga nama kota yang kulihat dipersimpangan jalan tadi, melemparkan pandangan keluar lewat kaca. Sedangkan yang terlihat kini hanya hitam dan pantulan bayanganku sendiri.

Sebuah lagu dinyanyikan, tentang kota tua..tentang kota kenangan..tentang masa lalu. Aku tertunduk.., mulutku lamat-lamat ikut bernyanyi dan mendendangkan musik yang mereka nyanyikan. Aku trenyuh..hatiku goyah, aku laksana kapal karam. Lalu mereka menyanyikan lagu kedua, kali ini tentang cinta, tentang harapan yang tak pasti. Aku tak kuasa..kali ini menetes air mataku, semakin kutundukkan mukaku. Tak boleh ada yang tau.. tapi sebelum lagu itu selesai musik berhenti, tiba-tiba sunyi..semua bingung, begitu juga aku. Kualihkan pandangan mataku ke para seniman jalanan ini. Tak kusangka, wajah mereka menatapku semua. Seakan menanti reaksiku, ku ajukan pandangan mata bertanya “knapa?” tapi tanpa keluar suara. Sang vokalis yang sekaligus pegang gitar tersenyum.. “Ssssttt…dengar”, ketipung mulai berdendang..diikuti suara gitar..irama menghentak riang. Biola laksana penari balet yang sedang meloncat girang. Sebuah lagu yang tak kukenal.. tak juga kuingat apa syairnya. Tapi mungkin sedikit kuingat isinya. “Tentang gadis berkerudung merah, tentang senyum yang dia lihat sore kemaren. Tentang sapaan ramah saat berjumpa. Tentang semangat mereka ingin mengenalnya. Tentang keindahan dunia. Tentang sebuah do’a. Tentang keyakinan akan datangnya kebahagiaan.” Lagu yang menyenangkan, aku tersenyum sambil manggut-manggut mengikuti nada. Kupandang sekelilingku..kulihat beberapa pasang mata memandangku. Aku bingung, seorang ibu-ibu tersenyum kearahku. Seorang gadis cantik cemberut kearahku. Seorang lelaki muda malu-malu memandangku. Tiba-tiba aku tersadar..kutatap mata sang vokalis.., dia cuek saja. Tapi teman-temannya mulai tersenyum dan tertawa. Akhirnya kami semua tertawa, karena hanya aku yang berkerudung merah di bus itu. Diakhir lagu kulamatkan sebuah kata pada mereka, “thx..” mereka mengangguk lalu menghampiriku. Tempat lengang dalam bus membuat mereka luluasa untuk duduk bergerombol mendekatiku. Takut..tentu itu reaksi pertamaku. Sampai kudengar tutur santun mereka. Aku lebih merasa aman dari pada sendiri. “Untukmu”, kata sang vokalis sekaligus gitaris itu. Aku hanya tersenyum dan tertawa. “Kalian bisa saja! Turun mana?” Tanya ku.. “Halte berikutnya, kau masih sedih?” Tanya sang vokalis lagi.., teman-temannya nimbrung ber haaa…huuu..sambil cekikikan. “Thx..” hanya itu yang kuucapkan. “Kalo kau masih sedih, biar kuambil sekarang 7 kesedihan mu dengan 7 nada. Kusimpan dalam tabung gitarku ini”, katanya sambil menunjukkan lubang di gitarnya. Aku tertawa bersama yang lain. Lalu dia berlagak konyol..seperti menangkap kupu-kupu, lalu berlagak menangkap lalat..dan juga berlagak menembak burung. 7 kali dia beraksi konyol..sambil setiap seakan setelah menangkap sesuatu disekitarku dia seperti memasukkan sesuatu pula ke lubang gitarnya, kami tertawa cekikikan sampai terjungkal-jungkal. Lalu kenek bus meneriakkan nama pemberhentian berikutnya. Bergegas mereka menuju pintu belakang bus yang tak jauh dari tempat dudukku. “Hati-hati” kata dua orang diantara mereka, hamper bersamaan. “Yups..,sma-sama” jawabku. “Hei!! Knapa hanya 7 kesedihan ku? Dan kenapa hanya 7 nada?” tanyaku pada sang vokalis yang berambut nyentrik itu. “Karena setelah nada ke-7..akan kembali lagi ke nada pertama. Begitu seterusnya, kau tak akan sadar, kesedihanmu akan hilang saat kau berhenti bernyanyi.” Katanya menoleh padaku. Lalu melenggang turun dari bus bersama teman-temannya.

Sampai aku hempaskan tubuhku di tempat tidur..kurenungi kata-katanya. Lalu aku mengerti.. “do-re-mi-fa-so-la-si.. lalu kembali ke do” aku tersenyum..lalu merapatkan selimutku berdo’a. Untukku sendiri, untuk Bunda dan Ayahku, dan untuk orang-orang yang kusayangi. Semoga bisa kulebur duka mereka dengan 7 nada dariku.

_Based on True Story_

NB:
- Terima kasih kepada pengamen antara Purwosari-Malang PP yang memberi inspirasi. Karena yang memberi kata-kata “Kuambil 7 kesedihanmu dengan 7 Nada” dengan yang menyanyikan lagu khusus buatku sebenarnya bukan satu pengamen yang sama. Hanya demi cerita,semoga kalian mengerti teman.
- Aku gak pernah bertemu lagi dengan pengamen yang mengatakan kata-kata ajaib itu padaku, but You’re Rock Man!!!
- Buat seniman jalanan yang menyanyikan sebuah lagu khusus buatku kapan hari..”So sweet…” kalian benar2 seniman!!
- Aku bingung nich dikasih label cerpen ato apa ya??? Tapi Karena emang niatnya fa pengen cerita. Dan gak lebih dari 2 halaman A4, jadi kasih label cerita aja ya?? Masih termasuk “Cerita Puendek” kan??? Huhuhu…
- Foto hanya ilustrasi.., tapi ini pengamen suaranya mirip2 Ipang loh…

Sabtu, 21 November 2009


Malang, 21 November 2009

Surat untuk kakak tersayang..

Dear kakak,
Aku tau.. hari ini seharusnya aku menemuimu. Tapi aku tak kuasa menolak takdir. Harus kuredam rasa rindu ini, demi kewajiban dan sebuah amanah. Bukankah kakak sendiri yang bilang, kita harus percaya pada mimpi?? Bahwa kita harus jadi orang yang dapat dipercaya? Hari ini..dimana sebenarnya bisa saja aku berlari menuju kearahmu. Dimana bisa kudengar nyata suaramu, aku menolaknya. Walau hatiku perih dan kalut. Aku percaya, kaupun juga tak inginkan aku seperti itu.
Pun demi Bundaku tercinta, dimana telah kukatan niatku datang kekota ini dulu. Dan kini aku berusaha untuk tak khianati do’anya untukku.
Kakak.., seandainya kau baca surat ini. Dengarkan aku sekali saja..Meski hanya melihatmu dari jauh. Meski bahkan kau tak tau aku ada. Kau harus tahu..aku ingin bertemu. Aku yakin Allah akan memberikan waktu dan pertemuan yang lebih indah untukku. Dan aku juga yakin, kakak akan tersenyum bahagia membaca surat ini. Karena dukunganku padamu tak pernah dikalahkan jarak dan waktu.

Wassalamu’alaikum..Warrohmah…Wabarokah…

Fa-



NB buat para blogger yang baca:

1. Ini hanya gurauan semata…refresh sebentar agar nulis ceritanya berdistribusi normal (**kaburr…, takut ditimpuki para statistikawan sejati )
2. Jangan ketawa buat yang tau siapa tokoh kakak dalam surat ini, sssttttaaaahhh…..ngeri kan?? (hahaha…ketawa-ketiwi sampe guling-guling)
3. Bos gw marah2 mulu dari kemaren?? Ckckckc…bozzz…sabar…saya hadir kok. Mau jajan? Nich..”cekeremes..” lumayan, ganjal peyut yang gak keisi dari pagi. Tapi satu jumput aja buat bos.. :p

Rabu, 18 November 2009

Kuberi Dia Nama “Haikal”

Ikal..Ikal..!!! (wanita paruh baya itu setengah berlari mengejar sosok bayangan yang sekelebat tampak di depannya). Begitu banyak orang di Mall ini,hari libur di kota tak memberikan banyak ruang untuk melepas dari rutinitas sehari-hari selain Mall. “Aku tak mungkin salah lihat..” batin tante Lis. “Aku harus bertemu dengannya” ucapnya lirih. “Kau dengar ada yang memanggilku tadi? Sepertinya aku mendengar namaku dipanggil” Tanya Haikal pada Rani yang sedang memilih-milih tas. “Hmm?? Aku gak denger..?? yang ini bagus gak?” jawab Rani. “Oh..,mmm..aku lebih suka yang cokelat tadi” jawan Haikal. “Tapi lebih cerah yang warna kuning..bagaimana?”Tanya Rani lagi. “Aku rasa begitu juga..” jawab Haikal tersenyum. “Haikal!! Kau haikal kan? Masih ingat tante?” suara tante lis mengejutkan Haikal. “Tante??!! Sendirian??” Haikal langsung berdiri dan matanya terkejut, tapi penuh harap. “Ya Tuhan, ini benar kau..kemana saja kau nak? Kenapa lama sekali tak main kerumah?” kata tante Lis tak menjawab pertanyaan Haikal. “Iya tante.., waktu itu sibuk kuliah. Tante sendirian kesini?”haikal tetap pada pertanyaannya. “Tidak, tante bareng Sefi..tapi dia tadi masih keliling-keliling” jawab tante Lis hati-hati sambil memperhatikan Rani yang kini berdiri disamping Haikal. “Pacarmu Kal?” Tanya tante lis lebih lanjut. “Hmm..iya Tante kenalkan, ini Rani..RAni ini Tante Lis, mama nya temenku. “Tuhan..berikan aku hidup…satu kali lagi…” bunyi HP tante Lis. “Tante harus pergi Kal..ada urusan. Kapan-kapan maenlah lagi ke rumah. Ajak pacarmu ini” kata tante Lis sambil tersenyum ramah pada Rani. “ Makasih Tan..”,jawab Haikal dan Rina hampir bersamaan. Sepasang mata menatapa Haikal dari kejauhan. Pucat wajahnya, menjadikan dia semakin tampak seperti patung porselen. Nanar matanya, dan tangannya bertautan di depan dada seperti mencoba menghentikan debar jantungnya sendiri. Tapi nampaknya dia gagal, karena tangan itu bergetar. “Tidak seperti ini Kal..kau tidak boleh melihatku dalam keadaan seperti ini” Katanya lirih setengah berdo’a.

2 tahun kemudian…

“Ini takkan berhasil” Kata Sefi sambil beleparkan pandangannya jauh ke langit. “Tidakkah kau memikirkan anak kita?!?” Kata Pram lelah menahan emosi. “Anakku Pram!!Cam kan itu!!” Kali ini Sefi menatap Pram tajam. “Masih juga kau tak memaafkan aku Fi?!” jawab Pram dengan mata nanar marah. “Hah?!Tak ingatkah kau pernah lari dari tanggung jawab Pram?? Apakah kau lupa pernah mengingkari kami??”Sefi berkata datar penuh dendam. “Aku mau cerai!” Kata Sefi kemudian.. “Sefi!!!” Kali ini Pram berdiri,tangannya mengepal menahan emosi. “Kau juga menginginkan ini kan Pram?? Kau tak pernah mencintaiku. Kau hanya terpaksa menikahiku. Kalau tidak..,kau tak mungkin selingkuh sekarang dengan siapa namanya wanita itu??? Ahh!! Tak penting buatku!” Sefi menatap Pram sambil berkaca-kaca. Pram kikuk..berkali-kali dia ingin bicara. Tapi tak ada yang keluar dari mulutnya.

3 bulan berselang..

“Sefi..?Hallo..Haloo…still there?” suara diseberang saluran telpon. “Hmm? Yah..apa kabarmu Kal? Jawab Sefi. “Aku mau ke German Fi.., aku tak sabar memberi tahu kamu begitu menerima kabar beasiswaku, kau ingat??? Aku pernah bercerita padamu kan?? Kau ingat??!!??” kata Haikal penuh semangat. “ Waahh…selamat!selamat!! Jadi..Kapan kau berangkat?” Tanya Sefi.. “Tiga hari lagi” kata Haikal. “Aku tau kau bisa Kal” kata Sefi lagi.. “Bagaimana kabarmu Sef?” Tanya Haikal. “Ada yang ingin kuceritakan padamu Kal, tapi kau jangan kaget mendengarnya” kata Sefi memberanikan diri sendiri, tangannya mulai gemetar. “ Apa??! Kau kenapa??” Tanya Haikal tak sabar. “ Aku sudah punya anak Kal” kata Sefi sambil menahan nafas dan menahan air mata. “ Ap..kau..kau..bercanda kan Sef?” Tanya Haikal yang kebingungan. “Tidak, aku punya anak. Itu benar” kata Sefi. “ Aku tak mengerti Sef..knapa kau tak kabari aku saat kau menikah Sef? Tanya Haikal memprotes. “ Tidak Kal..,semua terjadi karena kebodohanku. Aku bahkan sudah bercerai.” Kata Sefi.. Hening..
“Kau tak apa Sef..??” Haikal hanya mampu mengeluarkan pertanyaan itu. “Aku baik-baik saja, Aku punya anakku sekarang Kal..” kata Sefi lirih. “Kal..aku minta maaf, tak ijin kau dulu. Tapi aku namakan anakku seperti namamu. “Haikal”..” kata Sefi kemudian. “Sefi…” kata Haikal menggantung. “ Tentu saja tak apa” katanya kemudia seakan meralat apa yang belum sempat dia ucapkan. “Kapan-kapan mainlah ke rumah lagi..ajak pacarmu itu. Kukenalkan kau pada anakku. Surga hidupku sekarang Kal..” kata Sefi kali ini dengan semangat. Dalam fikirannya terbayang senyum Ical yang manis. “Akan aku usahakan sebelum aku berangkat ke German Sef” kata Haikal sedikit lega mendengar nada Sefi yang semangat. “Aku harus menjemput Ical pulang sekolah Kal..” kata Sefi. “Hmm..iya, kau harus baik-baik saja Sef..” kata Haikal kemudian. “ Pasti!Pasti! Ada Ical sekarang Kal..” kata Sefi optimis. Percakapan berhenti, Sefi menutup telpon sambil tersenyum.

Ha1k4l_82@yahoo.com

Dear Sefi,

Sefi.., aku minta maaf..tak bisa aku menjengukmu dan Haikal Junior sebelum keberangkatanku ke German. Aku harap kau mengerti.

Aku berfikir..Apakah semua ini salahku Sef? Mungkinkah semua akan berbeda jika aku mencarimu waktu itu? Waktu seakan tak memihak pada kita. Aku minta Maaf..

Haikal-

Send…,


S3fi_83@yahoo.com

Dear Haikal,

Kau tak pernah salah Kal, kalau saja waktu itu aku bicara padamu. Andai kita tidak mengingkari perasaan kita waktu itu. Tapi semua sudah terjadi Kal.. Kau harus melanjutkan hidupmu, tanpa mengkhawatirkan aku. Ada Haikal kecil yang menjagaku. Yang mengukir senyumku setiap hari.

Sefi-

NB: Haikal kecil minta oleh-oleh om.. ^___^


Replay..sending..

-The End-


_Based on True Story_

NB:
-Nama tokoh, tempat, dan waktu..disamarkan demi kata yang mereka sebut “kehormatan”


Rabu, 11 November 2009

Ijinkan Aku Pulang, Untuk Pergi Mengejar Mimpi


Tik..tik..tik…bunyi halus keyboard beradu, hening dalam ruangan yang cukup besar dan panjang ini. Jarum jam menunjukkan pukul 9:00 PM, sudah larut.. “belum pulang Bil?”,tanya Anang yang mengintip dari balik pintu. “Belum, 1 jam lagi sepertinya” Jawabku. “kamu masuk malam ya?”, tanyaku balik. “Hmm..,ya..aku tinggal ngecek anak-anak dulu ya?”, jawabnya sambil berlalu. Dan aku hanya menganggukkan kepala. Suara mesin-mesin raksasa berdengung dari pintu yang sedikit terbuka tadi, dan lambat teredam saat pintu itu menutup. Aku kembali menatap layar monitor..tapi kali ini tidak konsen lagi aku pada kerjaanku.

Kucek HP-ku, berharap ada message atau apapun itu. Sebuah tanda bahwa aku tak benar-benar sendiri. Tapi nihil, aku hanya bisa menghembuskan nafas dan memutuskan untuk mendegarkan lagu-lagu. Kupasang head set dan memejamkan mataku meresapi syair dalam lagu itu. “Takkan ada yang menelepon atau mengirimimu message Billa..sadarlah” kataku pada diri sendiri dengan jelas, seakan meminta untuk yakin. Kuputuskan untuk menyudahi pekerjaanku, lalu menelpon line 8. “Dengan Security Seno, ada yang bisa dibantu?” jawab telpon dari seberang. “Tolong panggilkan driver pak, saya mau pulang” jawabku. “Baik Bu Nabilla, segera” jawab Pak seno. “Terima kasih Pak Seno”,jawabku “Sama-sama Bu..”, klik telepon ditutup.

Perjalanan pulang kerja kali ini aku hanya terdiam, head set mp3 yang mendendangkan lagu-lagu kesayangan mendukungku untuk diam sepanjang perjalanan. Aku sedang tak ingin bicara. Dan jika diijinkan, aku juga sedang tak ingin berpikir. Tentang apapun! 30 menit berlalu, dan sekarang aku berada di Kamarku, masih dengan pakaian kerja. Menghadap cermin..dan hanya bengong. Ku miringkan kepalaku, ke kanan...lalu ganti ke kiri.. Aih..tak puas, lalu aku menghadap ke depan dan nyegir sejelek mungkin. Dan tertawa sendiri, kukeras-keraskan tawaku. Hingga yang kutertawakan bukan lagi bayangan lucu diriku di cermin tadi. Tapi aku, ya..aku menertawakan diriku sendiri. Lalu air mata keluar sangking merasa lucunya diriku..lalu..suara tawa itu lenyap. Tinggal tangisan..

03:30 AM…
Kring…krriiingg… Bunyi telpon yang khas itu, Ahh..Ibu…Ringtone khusus panggilan untuk Ibuku. Biar serasa dirumah saja kupilih ring tone itu. “Assalamu’alaikum..” Jawabku masih mengantuk, karena hanya sekitar baru 45 menit aku tertidur. “Wa’alaikum Salam..,sudah Sholat kau Bil?”, jawab diseberang sana langsung mengajukan pertanyaan.. “Hmm.., Bu…aku ingin pulang”, kataku tak menjawab pertanyaannya. “Knapa?” Tanya beliau. “ Sudah cukup kubuktikan pada mereka Bu, aku ingin meraih apa yang kuimpikan”, kataku datar. “Apa kau yakin meninggalkan semuanya?”, Tanya ibuku. “Hhhh..,entahlah Bu..hanya saja hatiku tak lagi disini. Dan waktu seakan mendukungku untuk pergi”, jawabku..ragu.. “Memangnya apa rencanamu setelah ini?”, Tanya suara lembut diseberang sana. “Saat ini rencanaku hanya satu Bu.., pulang”, jawabku pasti. “Tidakkah kau piker-pikir lagi?” Ibuku mulai ikut ragu. “Aku akan mencari Bu, akan kukejar yang dulu pernah kuletakkan demi ambisi. Semua sudah kuraih, sekarang tak perlu lagi aku buktikan pada mereka. Aku ingin mengejar mimpiku. Milikku sendiri..dan juga mencarinya”, aku seakan berkata pada diriku sendiri. Yang kupikirkan sepanjang malam ini. “Kemana memang kau ingin mencarinya?” Ibu mulai ingin mematahkan pikiranku. “Kemana saja! Ke arah manapun itu”, aku sudah mulai resah.. lama..hening..tak kudengan suara diseberang sana. “Bu…?”, tanyaku berharap. Kali ini aku butuh dukungannya, seperti sebelum-sebelumnya. “Lakukan..kau paling tau apa yang kau butuhkan. Ibu mendukung saja”, jawabnya bijak. Air mataku mengalir.., batinku membuncah bangga pada wanita di seberang sana. Yang melahirkanku dengan pertaruhan nyawanya. “Terima Kasih Bu.., untuk sekarang ini.. Aku hanya ingin pulang, selanjutnya akan aku pikirkan nanti”, jawabku tak bisa menutupi isak tangis haruku. “Hmm..Sholatlah dulu…” jawab ibuku disana. “Ya..Assalamu’alaikum” kataku. “Wa’alaikum salam..warrohmatullah..” Klik! Suara telpon ditutup.

Kuambil Wudhu, sholat dan berlama-lama aku berdo’a. memohon kekuatan untuk dan petunjuk. Juga untuk mengucapkan syukur atas segala yang kupunya dan kuraih selama ini. Mimpi..Aku tak sabar menjadikanmu nyata.
_Based on True Story_
PS:
- Nama Nabilla, kata Almarhum BApak adalah nama yang gak jadi disematkan padaku dulu. Heheheh....
- Judul photo, Jalan Pulang

Rabu, 04 November 2009

-cerpen tak berjudul-




_Surabaya 11:30 AM_

Ara Sibuk menata baju dan peralatan kedalam tas ransel

“Aku berangkat nanti sore dengan kereta jam setengah 3” kata Ara kepada Ella teman sekamarnya tanpa menoleh. “Hmm..” jawab Ella acuh tak acuh. “Semua sudah kau periksa Ra?” Tanya Ella kemudian. “Aku rasa sudah, coba ku cek lagi” …… “semua peralatan untuk wawancara sudah siap. Apa medannya sulit??” Tanya Ella. “Lumayan..masih bisa dijangkau dengan sepeda motor”. Jawab Ara..



_Kereta Penataran 4:30 PM_

mungkinkah..BIla ku bertanya..pada bintang-bintang, dan bila…kumulai merasa..bahasa kesunyian. Aku…dan semua..yang terluka..Karena Kita…Aku…kan menghilang..dalam pekat malam. Lepas kumelayang.. BIarlah kubertanya pada Bintang-bintang tentang arti kita..Dalam mimpi yang sempurna…” Suara pengamen yang bersemangat sekaligus penuh penghayatan di kereta yang sesak ini. Sejenak mengantarkan Ara dalam lamunan. Diliriknya penumpang disebelahnya yang sepertinya sedang bertelepon dengan kekasihnya. Suara khas dari kereta ekonomi terdengar disana-sini. Penjual Es, Penjual makanan kecil,buah, sampai peralatan rumah tangga lengkap disini.

Aku ada disini.
bersama sejuta wajah yang menggambarkan berbagai ekspresi.
Namun yang kucari hanya satu rona.
kamu!


“Cuma seribu mbak..” suara penjual membuyarkan lamunan Ara. Sejenak bingung dengan maksud si penjual yang matanya berbinar penuh harap. Penjual hanya menunjuk tali rambut yang tadi di lemparkan kepangkuan Ara tadinya. Ara hanya tersenyum dan mengeluarkan uang dua ribu rupiah. “Ada yang warna hijau pak?” Tanya Ara. “Tentu ada mbak..” jawab penjual itu, kali ini dengan semangat. Mungkin aku belum butuh ini, tapi mata binar penjual membuat Ara berpikir.. “Ahh..rejeki anak dan istrimu lah pak..

_Malang Kota 9:30 PM_

Hotel kecil di daerah sekitar kantor Pemkot Malang yang dipilih Ara untuk menginap. Bukan karena apa, karena hanya Hotel ini yang bisa dijangkau dengan jalan kaki dari stasiun Kota karena malam ternyata sudah larut untuk kota ini. Kereta ekonomi yang luar biasa lama saat tidak terjadi masalah, lebih tambah lama karena ada masalah dengan lokomotifnya ditengah perjalanan mau mencapai Stasiun Lawang. Dan sekarang disinilah dia, Malang…

Dingin menghentak diluar
Dingin merayap didalam
Angin berlarut membawa beku
Disini..
Dihatiku


Ara menghembuskan nafas panjang. Setengah jam dia memeras otak untuk mulai menulis sesuatu di notebook yang dipengangnya. Dan hanya penggalan kata itu yang mampu ditulisnya. Ditutupnya notebook itu. Diraihnya kamera yang dia bawa, dibersihkan lensanya. “Aku harus minta maaf pada Ella sepulang dari sini”, batin Ara. Sebenarnya tak ada unsur pekerjaan perjalanannya kali ini. Ara hanya ingin pergi dari hiruk pikuk kota. Sejenak melepas penat, dan sendiri. Hunting foto dan kalau mujur, dapat bahan untuk dijadikan uang.
Beberapa bulan ini Aga menghilang lagi. Entah kemana, seperti di telan bumi. Ara bisa saja mencarinya..tapi tidak kali ini. Tidak waktu ini. Karena kali ini bukan yang pertama. Hingga Ara percaya lelaki satu ini punya ilmu menghilang layak di film-film Indonesia masa lampau. Saat ini Ara memilih untuk menyendiri saja. Meski Ara tau, hatinya tak pernah mau sendiri. Selalu ada dia yang menguasai dan menyeruak dalam segala emosi. Tidak tau apa yang dicari, dan selebihnya hanya kesempatan dan waktu luang yang membawa langkahnya ke kota ini.
Ditariknya selimut rapat-rapat..malam semakin dingin..tapi lelah membuatnya terlelap dan menghanyutkannya dalam mimpi. Dan dalam mimpi itu Ara tak henti tertegun.. “Kenapa kau juga ada dalam alam ini Ga?”.

_Perjalanan 8:00 AM_

Angkot ke daerah Gadang mudah sekali diperoleh dari hotel tempat Ara menginap. Sekitar 45 menit sampailah dia di Gadang. Setelah menimbang, Ara memilih untuk booking ojek untuk perjalanan selanjutnya. Karena dia tak mau kehilangan momen-momen yang mungkin dia temui dalam perjalanannya terlewat begitu saja tanpa terabadikan dalam kameranya. Setelah tawar-menawar yang cukup alot. Sudah menjelang sore saat dia tiba di tempat tujuannya karena harus berhenti beberapa kali untuk mengambil foto dan Sholat Dzuhur.

_Pantai Bale Kambang 3:30 PM_

..Bale Kambang… sebuah wisata pantai di Malang selatan. Setelah membayar Ojek , Ara larut dalam suasana pantai yang syahdu kala sore hari. Tak menyia-nyiakan kesempatan, beberaba view jadi objek kameranya. Ombak sudah mulai meninggi..hingga Ara memutuskan tak langsung bermain air pantai dan memutuskan untuk menyewa salah satu kamar untuk menginap di pinggiran pantai Bale Kambang itu. Malam harinya, sambil menikmati Jagung bakar dan secangkir kopi, disertai angin pantai yang semilir serta dimeriahkan musik-musik rege dari Tape yang dibawa rombongan anak-anak muda. Masih sangat muda, mungkin baru kuliah semester awal-awal. “Ahh..dulu tak ada waktu untuk tamasya aku saat seumur mereka” batin Ara. Tersenyum mengingat masa lalu lalu meneguk nikmat kopi hitam dari cangkir usang.

Suasana pantai yang jauh dari deru mesin dan asap sangat terasa nyaman, musik..tawa canda…ada yang bercengkrama, ada yang bermain-main dengan anak tercinta, dan juga..ada yang bertengkar dengan kekasihnya. Ara hanya tersenyum kecut, iri..mungkin itu yang ada di hatinya.

Aku berada di ujung tanah pijakan
Sedang menatap dua alam
Semuanya berdendang
Dan aku hanya terdiam


“Aga..” lamat-lamat bibir Ara mengucapkan nama itu. Bagai kan sebuah mantra yang dilafalkan. Diiringi genderang yang bertabuhan dalam hatinya. “Saat sendiripun kenapa hanya nama itu yang Aku ingat?”. “Mau beli Gelang nak?” suara nenek yang membuyarkan lamunan Ara. Dilihatnya barang yang dijajakan nenek tersebut. Pernik-pernik yang khas pantai. Lumayan untuk oleh-oleh balik ke kota. “Sendiri saja nak?”,Tanya nenek itu kemudian. “Iya nek.., nenek juga? Tidak ditemani cucunya?” tanyaku iseng. Lalu entah bagaimana mengalir setetes air mata dari mata tua itu. “Nenek hanya punya suami nak…dan 2 minggu lalu dia sudah pergi mendahului nenek”. Kata nenek itu. Rasa bersalah menyeruak dalam hati Ara, refleks tangannya memegang tangan perempuan tua itu. “Maaf nek…seharusnya saya tidak lancang bertanya” kata Ara dengan nada yang dia harap terdengar tulus. Hanya senyum mengerti yang disuguhkan nenek itu..lalu berkata dia, “Padahal biyen wes tak pesen…bah aku ae yang mangkat duluan, bah aku gak dewean..eeelah dalah…malah aku ditinggal disik-an, tapi urip mung sedelo, mengko mesti ketemu nang suargo” (Padahal dulu kubilang biar aku dulu yang pergi..ee…malah pergi duluan. Tapi hidup kan hanya sebentar..nanti juga aku ketemu lagi diSurga). Ara hanya tersenyum, masih merasa bersalah. “Kau sudah punya pacar to nak?? Wess…mugo-mogo entok jodo koyok nenek sama kakek biyen..sampe tuek gandengan tangan, sampe royokan teken” (kau sudah punya pacar nak? Semoga dapat jodoh seperti nenek dan kakek dulu, sampai tua bergandengan tangan bahkan sampai berebut tongkat). Kata nenek itu sambil ganti memegang tangan Ara. Dan mendengar do’a nenek itu..hati Ara langsung dingin..membeku...dan bayangan Aga yang menguasainya kabur terusik, seakan malu.

_Pantai Bale kambang 5:30 AM_

Telah kucari kau sampai ujung langkahku
Telah kutunggu kau hingga lupa waktuku
Kuteriakkan namamu disegala penjuru
Kutulis tanda-tanda disegala pijakku
Kuganggam semua janji hingga jadi belenggu
Nyata kau tak pernah Jauh dariku
ada disini,
Dekat sekali
Hanya saja kau tak pernah tau


Ditutup notebook itu, lalu berlari Ara menentang angin dan gelombang di pantai itu. Kali ini dibiarkan airmata yang ditahan lama sekali..tak ada nama yang bisa dia teriakkan. Tak bisa dia tulis huruf-huruf itu dipasir pantai. Dadanya bergemuruh, lalu tubuhnya luruh..

Setelah semuanya tenang, buru-buru kembali dia ke kamar penginapannya, diraihnya Hp..lalu dipencet no yang sangat dia hafal. “Aga..kita harus bicara” hening…

_1 Tahun kemudian, Malang_

Malang, kali ini aku kemari dengan segala kebebasanku. Dibuang daun yang baru ditulisi itu ke pinggiran kota ini. Terbawa angin. Ara tersenyum..kemudian melangkah pasti.


-Based on true story-


Ps:

- Nama tokoh diambil dari 1000 nama bayi punya ibu-ibu hamil di kantorku. (Kakakakks…Semoga kelak..lahir selamat, jadi anak-anak yang Sholeh maupun Sholehah. Amin..)
- Aku bingung ngasih judul apa… Ada yang punya Ide????