Waktu sudah menjelang petang saat aku meninggalkan kantorku sore itu. Hanya tinggal beberapa orang yang masih menyelesaikan sisa kerjanya. Aku sendiri sengaja pulang telat, menunggu waktu maghrib agar sekalian aku tunaikan kewajibanku sebelum aku kehilangan waktuku di jalan. Kulangkahkan kakiku gontai di pinggiran kota yang terlihat usang. Beberapa orang yang mengenalku bertegur sapa kepadaku dan kubalas seramah mungkin. Aku harap senyumku masih terasa tulus pada hati mereka. Sesaat langkahku berhenti saat sampai di persimpangan jalan. Kuamati wajah-wajah muda yang mengatasnamakan “ekspresi jiwa” sedang berlalu lalang dan bergerombol di salah satu sudut jalan. Pakaian serba hitam, anting yang berderet, dandanan yang khas dan penuh pernak-pernikdan sedikit terlihat gothic. Aku tersenyum kecil, karena terlintas sebentar dalam pikiran konyol agar bisa mengambil beberapa foto bersama mereka. Ahh..,tapi nanti malah disangka aku menyinggung mereka. Lalu pandanganku beralih ke rambu jalan, maksud hati ingin memperhatikan lampu traffic untuk menyeberang. Akan tetapi pandanganku teralih oleh penunjuk arah kemana kota yang akan dituju di masing-masing arah jalan dipersimpangan itu. Ada tiga nama kota.., kali ini aku terpana. Ketiga nama kota yang entah kenapa masuk meresap pada pikiranku. Kuhela nafas dalam, lalu menhampiri halte bus.
Jam pulang kantor memang sudah lewat, jadi aku dapat bus yang aku dapat agak lengang. Akupun leluasa memilih tempat duduk. Dan kujatuhkan pilihan pada dua bangku kosong sebelah kiri di bagian belakang. Kuhempaskan tubuhku, dan kupandangi lampu-lampu disepanjang jalan lewat kaca. 15 menit kemudian bus mulai memasuki jalan yang mendaki karena hendak melewati sebuah jembatan yang cukup tinggi. Pemandangan berganti layak sebuah lukisan. Laksana bintang yang ditaburkan pada hamparan dedaunan di hutan. “Subhanallah..”, takjub selalu aku setiap kali melihat pemandangan ini.
Hari sudah gelap saat bus berhenti di sebuah pasar yang cukup ramai untuk menurunkan dan menaikkan penumpang. Sekelompok pengamen jalanan yang aku dan mungkin mereka sendiri lebih suka menyebut diri mereka “seniman jalanan” ikut naik bersama beberapa penumpang baru. Sering aku berpapasan dengan mereka saat berangkat atau pulang kerja. Dan dari pengamatan pula aku bilang mereka seniman jalanan. Bukan pengemis yang bernyanyi sumbang tanpa memperhatikan seni. Mungkin mereka sebenarnya tak peduli mereka dibayar atau tidak asalkan suara mereka didengar. Sebuah ketipung, dua buah gitar, sebuah biola, serta suara merdu tinggi agak serak semacam suara Ipang. Perpaduan yang klasik menurutku.., sangat akustik. Ada yang memandang sinis, ada yang buru-buru menyiapkan uang receh, ada yang tak sabar menantikan mereka beraksi..lalu aku sendiri..masih terbawa dengan ketiga nama kota yang kulihat dipersimpangan jalan tadi, melemparkan pandangan keluar lewat kaca. Sedangkan yang terlihat kini hanya hitam dan pantulan bayanganku sendiri.
Sebuah lagu dinyanyikan, tentang kota tua..tentang kota kenangan..tentang masa lalu. Aku tertunduk.., mulutku lamat-lamat ikut bernyanyi dan mendendangkan musik yang mereka nyanyikan. Aku trenyuh..hatiku goyah, aku laksana kapal karam. Lalu mereka menyanyikan lagu kedua, kali ini tentang cinta, tentang harapan yang tak pasti. Aku tak kuasa..kali ini menetes air mataku, semakin kutundukkan mukaku. Tak boleh ada yang tau.. tapi sebelum lagu itu selesai musik berhenti, tiba-tiba sunyi..semua bingung, begitu juga aku. Kualihkan pandangan mataku ke para seniman jalanan ini. Tak kusangka, wajah mereka menatapku semua. Seakan menanti reaksiku, ku ajukan pandangan mata bertanya “knapa?” tapi tanpa keluar suara. Sang vokalis yang sekaligus pegang gitar tersenyum.. “Ssssttt…dengar”, ketipung mulai berdendang..diikuti suara gitar..irama menghentak riang. Biola laksana penari balet yang sedang meloncat girang. Sebuah lagu yang tak kukenal.. tak juga kuingat apa syairnya. Tapi mungkin sedikit kuingat isinya. “Tentang gadis berkerudung merah, tentang senyum yang dia lihat sore kemaren. Tentang sapaan ramah saat berjumpa. Tentang semangat mereka ingin mengenalnya. Tentang keindahan dunia. Tentang sebuah do’a. Tentang keyakinan akan datangnya kebahagiaan.” Lagu yang menyenangkan, aku tersenyum sambil manggut-manggut mengikuti nada. Kupandang sekelilingku..kulihat beberapa pasang mata memandangku. Aku bingung, seorang ibu-ibu tersenyum kearahku. Seorang gadis cantik cemberut kearahku. Seorang lelaki muda malu-malu memandangku. Tiba-tiba aku tersadar..kutatap mata sang vokalis.., dia cuek saja. Tapi teman-temannya mulai tersenyum dan tertawa. Akhirnya kami semua tertawa, karena hanya aku yang berkerudung merah di bus itu. Diakhir lagu kulamatkan sebuah kata pada mereka, “thx..” mereka mengangguk lalu menghampiriku. Tempat lengang dalam bus membuat mereka luluasa untuk duduk bergerombol mendekatiku. Takut..tentu itu reaksi pertamaku. Sampai kudengar tutur santun mereka. Aku lebih merasa aman dari pada sendiri. “Untukmu”, kata sang vokalis sekaligus gitaris itu. Aku hanya tersenyum dan tertawa. “Kalian bisa saja! Turun mana?” Tanya ku.. “Halte berikutnya, kau masih sedih?” Tanya sang vokalis lagi.., teman-temannya nimbrung ber haaa…huuu..sambil cekikikan. “Thx..” hanya itu yang kuucapkan. “Kalo kau masih sedih, biar kuambil sekarang 7 kesedihan mu dengan 7 nada. Kusimpan dalam tabung gitarku ini”, katanya sambil menunjukkan lubang di gitarnya. Aku tertawa bersama yang lain. Lalu dia berlagak konyol..seperti menangkap kupu-kupu, lalu berlagak menangkap lalat..dan juga berlagak menembak burung. 7 kali dia beraksi konyol..sambil setiap seakan setelah menangkap sesuatu disekitarku dia seperti memasukkan sesuatu pula ke lubang gitarnya, kami tertawa cekikikan sampai terjungkal-jungkal. Lalu kenek bus meneriakkan nama pemberhentian berikutnya. Bergegas mereka menuju pintu belakang bus yang tak jauh dari tempat dudukku. “Hati-hati” kata dua orang diantara mereka, hamper bersamaan. “Yups..,sma-sama” jawabku. “Hei!! Knapa hanya 7 kesedihan ku? Dan kenapa hanya 7 nada?” tanyaku pada sang vokalis yang berambut nyentrik itu. “Karena setelah nada ke-7..akan kembali lagi ke nada pertama. Begitu seterusnya, kau tak akan sadar, kesedihanmu akan hilang saat kau berhenti bernyanyi.” Katanya menoleh padaku. Lalu melenggang turun dari bus bersama teman-temannya.
Sampai aku hempaskan tubuhku di tempat tidur..kurenungi kata-katanya. Lalu aku mengerti.. “do-re-mi-fa-so-la-si.. lalu kembali ke do” aku tersenyum..lalu merapatkan selimutku berdo’a. Untukku sendiri, untuk Bunda dan Ayahku, dan untuk orang-orang yang kusayangi. Semoga bisa kulebur duka mereka dengan 7 nada dariku.
_Based on True Story_
NB:
- Terima kasih kepada pengamen antara Purwosari-Malang PP yang memberi inspirasi. Karena yang memberi kata-kata “Kuambil 7 kesedihanmu dengan 7 Nada” dengan yang menyanyikan lagu khusus buatku sebenarnya bukan satu pengamen yang sama. Hanya demi cerita,semoga kalian mengerti teman.
- Aku gak pernah bertemu lagi dengan pengamen yang mengatakan kata-kata ajaib itu padaku, but You’re Rock Man!!!
- Buat seniman jalanan yang menyanyikan sebuah lagu khusus buatku kapan hari..”So sweet…” kalian benar2 seniman!!
- Aku bingung nich dikasih label cerpen ato apa ya??? Tapi Karena emang niatnya fa pengen cerita. Dan gak lebih dari 2 halaman A4, jadi kasih label cerita aja ya?? Masih termasuk “Cerita Puendek” kan??? Huhuhu…
- Foto hanya ilustrasi.., tapi ini pengamen suaranya mirip2 Ipang loh…
Jam pulang kantor memang sudah lewat, jadi aku dapat bus yang aku dapat agak lengang. Akupun leluasa memilih tempat duduk. Dan kujatuhkan pilihan pada dua bangku kosong sebelah kiri di bagian belakang. Kuhempaskan tubuhku, dan kupandangi lampu-lampu disepanjang jalan lewat kaca. 15 menit kemudian bus mulai memasuki jalan yang mendaki karena hendak melewati sebuah jembatan yang cukup tinggi. Pemandangan berganti layak sebuah lukisan. Laksana bintang yang ditaburkan pada hamparan dedaunan di hutan. “Subhanallah..”, takjub selalu aku setiap kali melihat pemandangan ini.
Hari sudah gelap saat bus berhenti di sebuah pasar yang cukup ramai untuk menurunkan dan menaikkan penumpang. Sekelompok pengamen jalanan yang aku dan mungkin mereka sendiri lebih suka menyebut diri mereka “seniman jalanan” ikut naik bersama beberapa penumpang baru. Sering aku berpapasan dengan mereka saat berangkat atau pulang kerja. Dan dari pengamatan pula aku bilang mereka seniman jalanan. Bukan pengemis yang bernyanyi sumbang tanpa memperhatikan seni. Mungkin mereka sebenarnya tak peduli mereka dibayar atau tidak asalkan suara mereka didengar. Sebuah ketipung, dua buah gitar, sebuah biola, serta suara merdu tinggi agak serak semacam suara Ipang. Perpaduan yang klasik menurutku.., sangat akustik. Ada yang memandang sinis, ada yang buru-buru menyiapkan uang receh, ada yang tak sabar menantikan mereka beraksi..lalu aku sendiri..masih terbawa dengan ketiga nama kota yang kulihat dipersimpangan jalan tadi, melemparkan pandangan keluar lewat kaca. Sedangkan yang terlihat kini hanya hitam dan pantulan bayanganku sendiri.
Sebuah lagu dinyanyikan, tentang kota tua..tentang kota kenangan..tentang masa lalu. Aku tertunduk.., mulutku lamat-lamat ikut bernyanyi dan mendendangkan musik yang mereka nyanyikan. Aku trenyuh..hatiku goyah, aku laksana kapal karam. Lalu mereka menyanyikan lagu kedua, kali ini tentang cinta, tentang harapan yang tak pasti. Aku tak kuasa..kali ini menetes air mataku, semakin kutundukkan mukaku. Tak boleh ada yang tau.. tapi sebelum lagu itu selesai musik berhenti, tiba-tiba sunyi..semua bingung, begitu juga aku. Kualihkan pandangan mataku ke para seniman jalanan ini. Tak kusangka, wajah mereka menatapku semua. Seakan menanti reaksiku, ku ajukan pandangan mata bertanya “knapa?” tapi tanpa keluar suara. Sang vokalis yang sekaligus pegang gitar tersenyum.. “Ssssttt…dengar”, ketipung mulai berdendang..diikuti suara gitar..irama menghentak riang. Biola laksana penari balet yang sedang meloncat girang. Sebuah lagu yang tak kukenal.. tak juga kuingat apa syairnya. Tapi mungkin sedikit kuingat isinya. “Tentang gadis berkerudung merah, tentang senyum yang dia lihat sore kemaren. Tentang sapaan ramah saat berjumpa. Tentang semangat mereka ingin mengenalnya. Tentang keindahan dunia. Tentang sebuah do’a. Tentang keyakinan akan datangnya kebahagiaan.” Lagu yang menyenangkan, aku tersenyum sambil manggut-manggut mengikuti nada. Kupandang sekelilingku..kulihat beberapa pasang mata memandangku. Aku bingung, seorang ibu-ibu tersenyum kearahku. Seorang gadis cantik cemberut kearahku. Seorang lelaki muda malu-malu memandangku. Tiba-tiba aku tersadar..kutatap mata sang vokalis.., dia cuek saja. Tapi teman-temannya mulai tersenyum dan tertawa. Akhirnya kami semua tertawa, karena hanya aku yang berkerudung merah di bus itu. Diakhir lagu kulamatkan sebuah kata pada mereka, “thx..” mereka mengangguk lalu menghampiriku. Tempat lengang dalam bus membuat mereka luluasa untuk duduk bergerombol mendekatiku. Takut..tentu itu reaksi pertamaku. Sampai kudengar tutur santun mereka. Aku lebih merasa aman dari pada sendiri. “Untukmu”, kata sang vokalis sekaligus gitaris itu. Aku hanya tersenyum dan tertawa. “Kalian bisa saja! Turun mana?” Tanya ku.. “Halte berikutnya, kau masih sedih?” Tanya sang vokalis lagi.., teman-temannya nimbrung ber haaa…huuu..sambil cekikikan. “Thx..” hanya itu yang kuucapkan. “Kalo kau masih sedih, biar kuambil sekarang 7 kesedihan mu dengan 7 nada. Kusimpan dalam tabung gitarku ini”, katanya sambil menunjukkan lubang di gitarnya. Aku tertawa bersama yang lain. Lalu dia berlagak konyol..seperti menangkap kupu-kupu, lalu berlagak menangkap lalat..dan juga berlagak menembak burung. 7 kali dia beraksi konyol..sambil setiap seakan setelah menangkap sesuatu disekitarku dia seperti memasukkan sesuatu pula ke lubang gitarnya, kami tertawa cekikikan sampai terjungkal-jungkal. Lalu kenek bus meneriakkan nama pemberhentian berikutnya. Bergegas mereka menuju pintu belakang bus yang tak jauh dari tempat dudukku. “Hati-hati” kata dua orang diantara mereka, hamper bersamaan. “Yups..,sma-sama” jawabku. “Hei!! Knapa hanya 7 kesedihan ku? Dan kenapa hanya 7 nada?” tanyaku pada sang vokalis yang berambut nyentrik itu. “Karena setelah nada ke-7..akan kembali lagi ke nada pertama. Begitu seterusnya, kau tak akan sadar, kesedihanmu akan hilang saat kau berhenti bernyanyi.” Katanya menoleh padaku. Lalu melenggang turun dari bus bersama teman-temannya.
Sampai aku hempaskan tubuhku di tempat tidur..kurenungi kata-katanya. Lalu aku mengerti.. “do-re-mi-fa-so-la-si.. lalu kembali ke do” aku tersenyum..lalu merapatkan selimutku berdo’a. Untukku sendiri, untuk Bunda dan Ayahku, dan untuk orang-orang yang kusayangi. Semoga bisa kulebur duka mereka dengan 7 nada dariku.
_Based on True Story_
NB:
- Terima kasih kepada pengamen antara Purwosari-Malang PP yang memberi inspirasi. Karena yang memberi kata-kata “Kuambil 7 kesedihanmu dengan 7 Nada” dengan yang menyanyikan lagu khusus buatku sebenarnya bukan satu pengamen yang sama. Hanya demi cerita,semoga kalian mengerti teman.
- Aku gak pernah bertemu lagi dengan pengamen yang mengatakan kata-kata ajaib itu padaku, but You’re Rock Man!!!
- Buat seniman jalanan yang menyanyikan sebuah lagu khusus buatku kapan hari..”So sweet…” kalian benar2 seniman!!
- Aku bingung nich dikasih label cerpen ato apa ya??? Tapi Karena emang niatnya fa pengen cerita. Dan gak lebih dari 2 halaman A4, jadi kasih label cerita aja ya?? Masih termasuk “Cerita Puendek” kan??? Huhuhu…
- Foto hanya ilustrasi.., tapi ini pengamen suaranya mirip2 Ipang loh…
18 komentar:
pertamax dulu ahhh.. lanjuttttttt... klimaks ni fa aku baca ceritanya, apa lagi pas ada twisted di bagian tengah berupa kejutan waktu semua diam kemudian tiba2 mendendangkan lagu untuk fa, salut!!lanjutkan kawan!!! ending ceritanya juga enak, kl boleh aku paraprasekan mungkin gini, kesedihan itu ya g ada wujudnya, belum tentu juga nyata karena itu cuma perasaan yang hilang seketika saat kita hentikan ritmenya, ya seperti persis kata pengamen itu yang bilang kau akan berhenti bersedih ketika kau berhenti menyanyikannya. Dan semoga hanya kita bisa selalu menciptakan dan menjagakan kebahagiaan dalam hidup kita :) amin ya ALLAH, amin..
@EW.. Amin.. Sayang wkt itu terlalu jaim. Jd lupa g ctt syair lagunya. Hehehe..
Fa, menyentuh sekali ceritanya.
Jadi pengen ketemu ama tuch pengamen heheh ^_^
@ Anonim..,sayang sekali aku bahkan juga blom ketemu lagi nih sama kawan satu itu. TApi klo yang nyanyiin lagu...Alhamdulillah,tadi melihat mereka. dan saling bertegur sapa.
semangat mereka sungguh luar biasa dlm mencari nafkah ya
Kata demi kata ku jelajahi...,
Nice....
@Sang cerpenis.., hmm..kdg miris hati liat perjuangan mrk. Jd merasa krg bersyukur nich aq.
@Prof.., thx dah mampir. Puisinya juga keren tuh prof. Brusan mampir aq.. :))
udah nerbitin brapa banyak buku mbak??
@Bhogey... He..mhn do'ax smoga jalanx lancar. Lg berdo'a bgt nich.. Yg tau crnx ajarin dunk..biar bukux cpt terbit. Tp,asal bs nulis aj fa dah puas kok.. :D
mereka benar2 seniman sejati dapat mengaplikasikan pengalaman hidup ke dalam lagu.
ceritanya panjang sekali.
mmm.....
@Anggi.. Harus aq akui, "iya"
@Ikutan ngeblog.. Hahaha.. Iya ya? Mkx dkasih lebelx cerita. Bukan cerpen. Thx yui dah mampir.. ^___^
fa.. aku ada kenalan yang punya akses ke Gramed kl kau mau nerbitkan buku, hayo fa semingittt!!! eh semangat!!!!!! betul ni...
@EW..,wah.. Tuh! Gak salah GWNKS ngasih temen macam kau. Baek tak terkira.. Tunggu bro! Dgn amat sangat mencoba menyelesaikan bukux.. N sdg lari2 nguber nara sumber..
masuk2 7kesedihan 7nada
@Thape gak doyan obat.. Thx
Posting Komentar